Kalimatistri milik suami, suami milik ibunya terinspirasi dari sebuah hadits yang jauh dari makna hadits itu sendiri. Adapun hadits yang terlihat seolah-olah kedudukan suami mendominasi istrinya yang harus taat dan peduli kepada ibu kandung suami saja sebagai berikut :
TRIBUNNEWSMAKERCOM - Sosok suami Tasyi Athasyia, Syech Zaki Alatas, menjadi sorotan setelah pasang badan membela istrinya dari hujatan publik.. Syech Zaki Alatas sudah menikah dengan Tasyi Athasyia sejak tahun 2015.. Tasyi Athasyia diketahui menikah lebih dahulu dibanding kembarannya, Tasya Farasya yang baru menikah di tahun 2018.
Uangsuami milik istri adalah nafkah yang seharusnya diberikan. Doa untuk Pengantin dan Macam-macam Hukum Menikah Menurut Islam. Sementara uang suami bukan milik istri yaitu di luar keperluan nafkah. Sehingga, jika dikatakan semua uang suami adalah milik istri malah merampas hak suami atas penghasilannya. Sedangkan ungkapan 'uang istri milik
RedaksiNU Online, di tengah masyarakat berkembang istilah "uang suami milik istri dan uang istri milik istri." Pertanyaan saya adalah bagaimana Islam mengatur hak kepemilikan suami dan istri. Ini cukup penting untuk mendudukkan persoalan secara jelas. Terima kasih. Wassalamu 'alaikum wr. wb. (Ahmad/Tangerang)
Haiibun mau nanya ni gimana cara nya ngadepin sifat suami yg keras kepala dan batu? Udh hampir mau seminggu suami marah sm aq?cuma gara2 aq tidur nya selalu dijam tengah mlm smpe segitu marah nya dia ama aq, bingung aq pun harus gimana lg pdhl aq udh gamau brantem tp suami selalu cuekin dan didiemin gk mau ngobrol sm aq?
Haditsitu seperti "mengesampingkan" orang tua dari mempelai wanita, karena secara "tekstual" hadits itu seolah memberi arti bahwa "Isteri itu milik suami dan Suami itu milik ibunya". Dalam kitab Uqudul Lujain hadits itu dinuqil sebagai berikut :
Dengandemikian pasangan tersebut sudah halal dan saling melengkapi untuk mempunyai keturunan. Di dalam Islam seorang istri yang menolak ajakan suami untuk bergaul, berarti ia (istri) membuka pintu laknat dari Allah terhadap dirinya. 8. Banyak menuntut. Tak baik seorang istri banyak menuntut kepada suaminya.
2 Taat sesuai kemampuan. "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya". (QS. Al-Baqarah: 286).Seorang suami perlu membantu istrinya agar istrinya mampu menunaikan kewajibannya. 3. Ketaatan yang disertai dengan penghormatan dan pemberian respon secara timbal-balik.
ERfVF. Suami milik ibunya, itulah kata kata yang santer terdengar. Katanya wanita harus mendahulukan suami, sedang Suami harus mendahulukan ibunya, apa maksudnya ? Bismillahir rahmaanir rahiim Setiap orang pasti mengharapkan dan mencintai kehidupan yang damai dalam rumah tangga. Kedamaian dan keharmonisan itu ditunjang oleh berbagai hal, terutama bagaimana cara suami dan isteri berbakti kepada kedua orang tua mereka. Karena bagaimana pun orang tua adalah orang yang menjadi sebab kedua mempelai hadir di dunia ini dan dipertemukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam ikatan pernikahan. Namun, ada sebuah hadits yang seringakali menimbulkan persepsi yang tidak sesuai dengan harapan itu. Hadits itu seperti “mengesampingkan” orang tua dari mempelai wanita, karena secara “tekstual” hadits itu seolah memberi arti bahwa “Isteri itu milik suami dan Suami itu milik ibunya”. Dalam kitab Uqudul Lujain hadits itu dinuqil sebagai berikut Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu Anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Siapakah yang paling berhak atas wanita isteri? Rasulullah menjawab, “Suaminya” Lalu aku bertanya lagi, “Siapa yang paling berhak atas laki laki berarti konteks di sini suaminya? Rasulullah menjawab, “Ibunya”. Lalu kita memahaminya, “Isteri harus mendahulukan suami, dan suami harus mendahulukan ibunya”. Banyak di antara kita memahaminya seperti itu. Terutama yang “ngajinya” di media sosial. Kalau begitu, kasihan sekali ibu dari si isteri. Karena “Tidak punya apa apa lagi”. Anaknya dah jadi isteri, harus mbakti suaminya, sedang suaminya harus mbakti ibunya. Lebih kasihan lagi kalau si ibu punya anak 3 perempuan semua. Pasti dia sangat sedih jika anaknya menikah,,, Di mana kita salah pahamnya? Pada memahami kata “ibunya”. Siapa “ibu” bagi orang yang sudah menikah? Ibu bagi orang yang sudah menikah adalah 1. Ibu yang melahirkannya ibu kandung dan 2. Ibu yang melahirkan pasangannya suami/ isterinya alias ibu mertua Jadi maksud dari hadits itu adalah 1. Berbakti pada orang tua tidak lepas, meski sudah menikah. 2. Isteri jadi partner bagi suaminya jadi satu tim, untuk berbakti pada orang tua orang tua si isteri maupun suaminya, alias mertua masing masing. Jangan sampe isteri berbuat sesuatu perhatian pada ibu kandungnya tanpa sepengatuan suami, dan sebaliknya. Tapi jadi satu tim yang kompak berbakti pada orang tua. Berbakti ini merupakan “wajah hakiki dari suami isteri, lebih jelas baca di 3. Suami harus menjadi pemimpin yang adil. Sehingga semua mendapatkan perhatian yang semestinya diberikan. Tidak ada perbedaandari fihak orang tua sendiri atau mertua. Semuanya diberikan dengan cara bermusyawarah dengan isteri. Maka ketika pernikahan, ibu dari penganten perempuan akan bahagia. Karena sekarang dia punya anak 2 anaknya dan menantunya. Dulu, kalau mau angkut angkut pasir, susah, karena anaknya perempuan. Sekarang tidak lagi. Karena punya anak laki laki. Ibu dari mempelai laki laki juga demikian. Sekarang punya anak 2. Dulu, kalau berurusan dengan “bedak dan saudara saudaranya” repot, karen anaknya laki laki. Sekarang tidak lagi. Ia punya anak menantu perempuan untuk menemaninya berekspresi. Amalan mendapatkan jodoh terbaik baca di Download do’a kehamilan untuk HP di Wallahu A’lam Alhamdulillaahi robbil alamin Kertanegara, Senin Legi, 25 Februari 2019 M / 20 Jumadil Akhir 1440 H repost Wawan Setiawan
Suami milik ibunya, itulah kata kata yang santer terdengar. Katanya wanita harus mendahulukan suami, sedang Suami harus mendahulukan ibunya, apa maksudnya ? Setiap orang pasti mengharapkan dan mencintai kehidupan yang damai dalam rumah tangga. Kedamaian dan keharmonisan itu ditunjang oleh berbagai hal, terutama bagaimana cara suami dan isteri berbakti kepada kedua orang tua mereka. Karena bagaimana pun orang tua adalah orang yang menjadi sebab kedua mempelai hadir di dunia ini dan dipertemukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam ikatan Lainnya Tidur Berkualitas Ala Rasullullah0Pemkot Palembang Ajak IPNU Bersinergi0Program Palembang Emas Darussalam Jadi Role Model Nasional0Pemkot Palembang Sosialisasikan Bantuan Hibah Keagamaan0Peringatan Maulid Nabi Guna Mempererat Silaturrahmi0 Namun, ada sebuah hadits yang seringakali menimbulkan persepsi yang tidak sesuai dengan harapan itu. Hadits itu seperti “mengesampingkan” orang tua dari mempelai wanita, karena secara “tekstual” hadits itu seolah memberi arti bahwa “Isteri itu milik suami dan Suami itu milik ibunya”. Dalam kitab Uqudul Lujain hadits itu dinuqil sebagai berikut Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu Anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Siapakah yang paling berhak atas wanita isteri? Rasulullah menjawab, “Suaminya” Lalu aku bertanya lagi, “Siapa yang paling berhak atas laki laki berarti konteks di sini suaminya? Rasulullah menjawab, “Ibunya”. Lalu kita memahaminya, “Isteri harus mendahulukan suami, dan suami harus mendahulukan ibunya”. Banyak di antara kita memahaminya seperti itu. Terutama yang “ngajinya” di media sosial. Kalau begitu, kasihan sekali ibu dari si isteri. Karena “Tidak punya apa apa lagi”. Anaknya udah jadi isteri, harus berbakti pada suaminya, sedang suaminya harus berbakti pada ibunya. Lebih kasihan lagi kalau si ibu punya anak 3 perempuan semua. Pasti dia sangat sedih jika anaknya menikah,,, Di mana kita salah pahamnya? Pada memahami kata “ibunya”. Siapa “ibu” bagi orang yang sudah menikah? Ibu bagi orang yang sudah menikah adalah 1. Ibu yang melahirkannya ibu kandung dan 2. Ibu yang melahirkan pasangannya suami/ isterinya alias ibu mertua Jadi maksud dari hadits itu adalah Berbakti pada orang tua tidak lepas, meski sudah menikah. Isteri jadi partner bagi suaminya jadi satu tim, untuk berbakti pada orang tua orang tua si isteri maupun suaminya, alias mertua masing masing. Jangan sampe isteri berbuat sesuatu perhatian pada ibu kandungnya tanpa sepengatuan suami, dan sebaliknya. Tapi jadi satu tim yang kompak berbakti pada orang tua. Berbakti ini merupakan “wajah hakiki dari suami isteri”. Suami harus menjadi pemimpin yang adil. Sehingga semua mendapatkan perhatian yang semestinya diberikan. Tidak ada perbedaan dari pihak orang tua sendiri atau mertua. Semuanya diberikan dengan cara bermusyawarah dengan isteri. Maka ketika pernikahan, ibu dari penganten perempuan akan bahagia. Karena sekarang dia punya anak 2 anaknya dan menantunya. Dulu, kalau mau angkut angkut pasir, susah, karena anaknya perempuan. Sekarang tidak lagi. Karena punya anak laki laki. Ibu dari mempelai laki laki juga demikian. Sekarang punya anak 2. Dulu, kalau berurusan dengan “bedak dan saudara saudaranya” repot, karena anaknya laki laki. Sekarang tidak lagi. Ia punya anak menantu perempuan untuk menemaninya berekspresi. Indra
Assalamu alaikum wr. wb. Redaksi NU Online, di tengah masyarakat berkembang istilah “uang suami milik istri dan uang istri milik istri.” Pertanyaan saya adalah bagaimana Islam mengatur hak kepemilikan suami dan istri. Ini cukup penting untuk mendudukkan persoalan secara jelas. Terima kasih. Wassalamu alaikum wr. wb. Ahmad/Tangerang Jawaban Assalamu alaikum wr. wb. Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Sebelum sampai ke sana, di awal kami menyinggung terlebih dahulu situasi perihal kedudukan perempuan pada saat Al-Qur’an diturunkan. Pada saat Islam datang, peradaban manusia terkait kedudukan perempuan terbilang masih rendah. Perempuan selamanya berada dalam “perbudakan.” Selagi kecil, ia berada di bawah belenggu ayahnya. Setelah menikah, belenggu perempuan berpindah tangan kepada suaminya. Sebagai entitas di bawah kuasa orang lain, perempuan saat itu tidak memiliki hak atas harta, bahkan atas hidupnya sendiri. Tidak heran kalau Surat At-Takwir ayat 8 dan ayat 9 menyinggung anak perempuan yang dikubur hidup-hidup. Al-Qur’an mempertanyakan dosa apa yang dilakukan anak perempuan sehingga layak dibunuh hidup-hidup. Adapun Surat At-Takwir ayat 8 dan ayat 9 berbunyi sebagai berikut وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَت بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَت Artinya, “Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” Oleh karena itu, Islam kemudian datang untuk membebaskan perempuan dari belenggu perbudakan yang menjadi sistem sosial saat itu. Islam mengembalikan atau memulihkan kepribadian perempuan yang disia-siakan. Islam memberikan hak kepada perempuan secara sempurna dalam relasinya dengan masyarakat dan keluarga. Hal ini disebutkan oleh Imam M Abu Zahrah dalam Ushulul Fiqih-nya ketika membahas sisi kemukjizatan Al-Qur’an. وأعطى الإسلام المرأة حقوقها كاملة وجعل ماليتها في الأسرة مفصولة عن مالية الزوج Artinya, “Islam memberikan hak-hak perempuan secara sempurna. Islam menjadikan harta perempuan otonom secara kepemilikan dari harta suami dalam struktur keluarga,” Imam M Abu Zahrah, Ushulul Fiqh, [Beirut, Darul Fikr Arabi 2012 M/1433 H], halaman 85. Dari semangat Al-Qur’an dalam pemulihan hak-hak perempuan ini, ulama fiqih kemudian memberikan garis yang jelas terkait hak kepemilikan bagi perempuan dalam hal ini sebagai istri. Ulama mengatakan bahwa seorang perempuan berhak atas mahar dan nafkah; dan berhak diperlakukan secara manusiawi. للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل Artinya, “Istri memiliki hak atas materi berupa mahar dan nafkah; dan hak nonmateri berupa perlakuan yang baik, interaksi yang menyenangkan, dan keadilan.” Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VII, halaman 327. Dengan demikian, perempuan memiliki kedaulatan atas kepemilikan harta. Kedaulatan perempuan atas kepemilikan harta ini tertuang jelas dalam perintah Al-Qur'an pada Surat An-Nisa’ ayat 4 perihal kewajiban pemberian mahar oleh seorang suami kepada istrinya. وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا Artinya, “Berikanlah maskawin mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah ambillah pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” Surat An-Nisa’ ayat 4. Dari sini kemudian dapat disimpulkan bahwa Islam memberikan garis yang jelas terkait hak laki-laki dan hak perempuan. Perempuan dalam hal ini istri memiliki hak atas harta, yaitu mahar dan nafkah. Sedangkan laki-laki dalam hal ini suami juga memiliki hak atas harta. Lalu bagaimana dengan pernyataan “uang suami milik istri dan uang istri milik istri?” Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Kalimat tersebut mengandung dua pernyataan yang perlu diuji satu per satu. Pertama, pernyataan, “uang suami adalah milik istri.” Uang suami mungkin saja milik istri dan mungkin juga bukan milik istri. Uang suami yang menjadi milik istri adalah hak nafkah yang seharusnya diterima oleh istri. Tetapi uang suami mungkin juga bukan milik istri, yaitu uang suami di luar keperluan nafkah istri dan anak. Dengan demikian, kalau dikatakan bahwa semua uang suami adalah milik istri justru merampas hak suami atas kepemilikan uangnya. Adapun pernyataan kedua, “uang istri milik istri,” adalah benar adanya sebagaimana dijamin oleh Islam terkait hak perempuan atas kepemilikan harta. Penjelasan ini tampak sangat teknis dan domestik sekali. Tetapi hak-hak suami dan istri ini perlu dibicarakan sehingga jelas kedudukan masing-masing pihak atas kepemilikannya. Namun demikian pada praktiknya secara umum, suami dan istri mengelola memberikan pertimbangan setidaknya secara bersama uang yang mereka miliki dan satu sama lain dapat saling membantu dalam mengatasi keuangan satu sama lain seperti dinyatakan dalam Surat An-Nisa’ ayat 4. Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu ’alaikum wr. wb. Penulis Alhafiz Kurniawan Editor Muchlishon